Pendidikan di Warteg

Posted 09.18 by Admin in
Pendidikan, kata-kata itu sekilas akan membawa hayalan kita akan sebuah gedung mewah, ruangan yang ber AC, kursi yang penuh dengan coret-coretan bekas contekan atau sekedar curhatan yang menghadap ke papan tulis yang terletak di depan, sebuah LCD yang dilengkapi dengan komputer, dan terdapat dosen yang memiliki gelar profesor. Pendidikan semacam ini mungkin hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat, dan yang lainnya hanya dapat menikmati sebuah hayalan itu. ya, hanya sebuah hayalan yang ada jauh di balik brankas uang sang kuasa.
Pendidikan, mungkin sebuah barang yang mewah, yang harganya tak sanggup dijangkau oleh kaum miskin. Banyak sekali pembayaran yang harus dibayarkan oleh masyarakat, hanya untuk memperoleh pendidikan. Setidaknya ini terjadi di kampusku, kampus yang jauh dari pusat pemerintahan, kampus yang terletak di kota kecil, sangat kecil, namun tak lebih kecil dari minat masyarakat untuk memperoleh pendidikan di kampus ini, pendidikan yang ternyata menguburnya bersama impiannya dengan tumpukan koper uang. Dan beruntunglah mereka yang telah berada di kampus ini. Beruntung karena setidaknya telah mendapatkan tiket yang harganya sangat mahal, hanya untuk mengambil ijazah.
Namun tidak dengan pendidikan yang ada di sebuah ruang 6 kali 5 meter, ruangan yang terletak di depan megahnya gedung kampusku. Ruangan itupun memberikan pendidikan “tanpa” tanpa uang POM… tanpa uang BOPP…. tanpa bayar SPP… hanya sekedar uang untuk beli es teh dan beberapa batang rokok. Dengan kata lain, apabila tidak merokok atau sedang berpuasa, tidak akan dipungut bayaran, karena tidak beli…. Ya, pendidikan begitu murah, sangat murah di sana, namun di sana tidak tersedia ijasah atau sertifikat. Maklum, pendidikan di sana tidak diakui pemerintah, dan tidak memiliki predikat atau berakreditasi. Namun di sana, di ruang kecil itu, telah melahirkan banyak orang penting di kota kecil ini. Ruangan itu juga melahirkan dosen untuk kampus di depannya. Tapi di sana tidak tersedia dosen, yang ada hanya para mahasiswa, dan tidak banyak anak-anak sekolah. Ruangan itu banyak memberikan pendidikan bagi para pengunjungnya, bahkan untuk para aktivis yang banyak menghabisi waktunya di tempat itu.
Hari itu, saat jingga mulai datang, diikuti dengan lentunan panggilan sholat bagi umat muslim, yang seolah memanggil gelap untuk menggantikannya. Saat itulah, di mana semua aktivis kampus pada eranya, dan sejumlah elemen lain mulai berkumpul di depan ruang kecil itu. Mereka yang berkumpul adalah orang-orang yang memiliki kenangan, kesan dan orang-orang yang sedang atau telah mengeyam pendidikan di tempat itu. Suasana pun meramai seiring makin pekatnya malam. Ada apa di sana? Hingga mereka mau meluangkan waktunya untuk bernostalgia. Ternyata hari itu merupakan malam terakhir untuk tempat yang menyediakan pendidikan gratis membuka pintunya untuk kembali menerima murid-muridnya lagi.
Ruangan kecil itu adalah warteg Fisip.
Apa lagi arti pendidikan itu, apa ada kaitannya dengan nilai mata uang, pinjaman hutang dengan luar negeri, kaitan apalagi…. Apa pendidikan itu layaknya hasil produksi, sebuah produk yang memiliki nilai jual? Apa lagi yang mau dijual? Satelit kita sudah laku, tambang emas kita juga laris, minyak? Apa karena sudah tidak ada lagi yang dapat dijual, makanya pendidikan kini dijual belikan? Apa pendidikan di warteg Fisip juga mau dijual? Itu ruangan “tanpa” harus bayar biaya pendaftaran dan pungutan-pungutan yang lain.
Siapa lagi mereka yang tega menjual tempat mengenyam pendidikan gratis di warteg Fisip? Kekuasaankah? Apa yang mereka pikirkan? UANG? Mungkin…
Alumni-alumni warteg itu telah menjadi bukti bahwa ruangan itu dapat melahirkan pemimpin, jadi ruangan kecil itu tak pantas digusur. Gusurlah keangkuhan sang pengusa, hancurkan tembok besar itu…. Namun siapa yang akan menggusur?
Dulu, ruangan itu memberikan pendidikan akan kuatnya mahasiswa, akan penderitaan orang-orang lemah, dan banyak hal lain, semua itu menjadikan alasan untuk tetap berjuang, dan saat itu kekuasaan yang angkuh dapat dihancurkan, kekuasaan yang selama 32 tahun berdiri dengan kokohnya tembok-tembok keangkuhan. Dan kini, ruang pendidikan itu telah tertutup rapat-rapat pintunya. Akankah terbuka kembali? Karena pasti banyak yang membutuhkan pendidikan di sana, karena mungkin tak lagi puas akan pendidikan yang formal dan tak membebaskan itu.
Namun harapan akan kampusku yang dahulu dikenal dengan kampus rakyat, kini tak lagi merakyat, mereka telah menggusur hak rakyat miskin untuk kuliah, dan mereka pun menggusur warteg yang berarti menggusur pendidikannya pula.
Hingga terayun sebuah pedang demokrasi dan menggoreskannya pada dinding-dinding kekuasaan untuk mencatat sejarah. Dan di dinding itu pula perjalanan warteg Fisip akan terukir di sana.[]

0 comment(s) to... “Pendidikan di Warteg”

0 komentar:

Posting Komentar