Siang itu sekitar pukul 13.00, seorang bapak yang mengenakan batik berwarna biru dan celana panjang hitam yang tidak terlalu formil karena stelan alas kakinya hanya memakai sandal datang ke kompleks sekertariat UKM/ HIMA FE UNSOED. Si bapak, sebut saja Pak Dirman, datang dengan membawa keluh kesah atas ketidakmampuan ekonomi untuk membayar uang sumbangan POM sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah sebagai konsekuensi atas diterimanya salah seorang anaknya menjadi seorang mahasiswa di FE UNSOED. Wajar saja, sebab Pak Dirman hanyalah seorang bapak yang berpenghasilan dari mengais rejeki di emperan jalan, dengan kata lain ia hanyalah seorang pedagang kaki lima di daerah Cilacap.

Pukul lima, sehabis shalat shubuh sebelumnya, dia menempuh perjalanan pagi–pagi sekali dari Cilacap menuju Purwokerto untuk mememenuhi undangan rapat POM pada pukul delapan pagi. Pukul dua belas, dia diwawancarai oleh panitia yang bertugas untuk menarik uang POM dari para orang tua mahasiswa minimalnya sebesar satu juta setengah, itu pun harus disertai dengan surat keterangan dari kelurahan yang ditafsirkan si bapak sebagai surat keterangan tidak mampu. Sayang, tabungan di sakunya hanya tersisa recehan lima ratus ribu, itupun sisa pembayaran uang saat registrasi anaknya yang diterima di UNSOED lewat SPMB Nasional, sejumlah satu juta delapan ratus ribu. Dia pun menyatakan keberatannya untuk membayar POM dalam jumlah yang sudah ditetapkan oleh si pewawancara. Pak Dirman hanya bersedia untuk menyumbangkan uang sebesar lima ratus ribu dengan cara mencicil, sebab masih ada kebutuhan sandang pangan keluarganya yang harus dipenuhi selama sebulan ke depan. Saat itu Pewawancara tidak langsung menerima kesediaan tawaran yang dilontarkan oleh pak Dirman, malah dengan kuasanya, pewawancara memerintahkan beliau untuk kembali pada pukul 14.00, satu jam kemudian. Entah apa alasannya? Pak Dirman tidak mengetahuinya dan hanya mematuhinya.

Disela-sela menanti jam 14.00 itu lah, Pak Dirman datang ke kompleks UKM/ HIMA FE UNSOED untuk memohon bantuan. Namun, harapan Pak Dirman untuk bertemu organisasi yang benar-benar concern dalam advokasi hal-hal seperti itu tak dapat ditemuinya, sebab saat itu bertepatan dengan jadwal liburan mahasiswa. Beliau hanya bertemu dengan dua orang mahasiswa yang tidak ada sangkut pautnya dalam menangani masalah-masalah demikian. Kedua pemuda itu hanya sekadar memiliki pengetahuan tentang POM dan masih peduli atas keluh kesah si Bapak. Namun, sudah cukup kiranya apa yang dimiliki kedua pemuda tersebut bagi si bapak untuk memberikan informasi dan nasihat yang berpihak kepadanya. Tentu saja, informasi yang diberikan apa adanya. Antara kondisi yang ideal dalam AD/ ART POM, dan menyimpang dalam realitas praktek-praktek penarikan dana POM yang dilakukan.

Seperti hal realitasnya, penarikan POM dilakukan dengan cara memberikan batas minimal pemberiaan sumbangan oleh para orang tua mahasiswa. Sementara idealnya menurut AD/ ART POM sumbangan tersebut bersifat sukarela (…..) tanpa adanya penentuan batas minimum besarnya. Tidak hanya itu, rapat POM dalam prakteknya, hanya dilakukan oleh sebagian orang tua mahasiswa saja. Semestinya, hal itu dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh orang tua mahasiswa (….).

Memang, kisah Pak Dirman hanyalah salah satu kisah klasik yang terliput oleh mata. Tidak memungkiri dalam praktik-praktik penarikan dana POM banyak pula kasus yang serupa sejak berdirinya POM pada tahun 1989. POM; kisah yang tak pernah berakhir, layaknya film-film sinetron yang diputar berepisode-episode. Upaya untuk menyudahi masalah dalam cerita ini seperti menemukan jalan buntu. Mahasiswa yang dikagumi sebagai Agent of Change, Iron Stock beserta embel-embel lainnya. Tatkala bertemu dengan kasus semacam ini hanya mampu memungut kasus per kasus bagi sebagian mahasiswa yang masih peduli. Tak jarang, dari kebanyakan terlarut dalam kenikmatan-kenikmatan fasilitas yang disuguhkan dari hasil penarikan dana POM. Seperti sebagai sumber pendanaan bagi kegiatan mahasisa di UKM/ HIMA-nya. Sayangnya, hal ini tanpa melihat kembali saat proses penarikannya. Alih-alih dengan legitimasi dalih, “Dari proses yang seperti apapun dana POM ini diperoleh, asal dipergunakan untuk hal yang baik dan berguna”, “POM ini dari mahasiswa juga” atau dengan legitimasi lain “Dana yang diberikan fakultas tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan mahasiswa”, kita pun tak segan-segan lagi untuk mempergunakan dana POM ini.

Di lain tempat, melihat semakin bertambah banyaknya fasilitas-fasilitas yang dibiayai dari pendanaan POM seperti hot spot, LCD di dalam kelas, gedung auditorium atau bahkan buku-buku yang berada di perpustakaan fakultas makin menambah ketidakkuasaan untuk berani melihat sisi lain dari POM. Proses inputnya, proses penggunaannya dan segi hasil yang mampu diperoleh oleh mahasiswa tentunya. Ketiga hal ini akan menjadi sebuah telisik khusus dari sebuah perspektif nilai tambah dari POM; the unfinished story.[]