Dua Mei. Tak ada hal spesial yang membedakan hari ini dengan hari-hari yang lain. Namun, kata orang, hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Ya, hari ini adalah hari pendidikan nasional di mana bangsa Indonesia merepresentasikan momentum ini dengan upacara. Lewat upacara bendera yang diadakan oleh banyak instansi pendidikan, banyak pihak merasa bahwa kewajiban menyelenggarakan peringatan Hardiknas telah terpenuhi. Pemaknaan hari pendidikan lantas terbatas pada agenda rutin yang terkesan hanya sebagai formalitas penggugur kewajiban ini. Tak lebih.
Entah pemaknaan seperti apa yang seharusnya ditujukan pada peringatan Hardiknas ini. Walaupun hari ini telah diperingati berpuluh-puluh tahun yang lalu, toh tak ada yang mampu menyulap pendidikan Indonesia. Justru sistem pendidikan Indonesia makin tak tentu arah. Pendidikan semakin tak terjamah oleh kaum papa.
Tak perlu berbicara terlalu jauh, mungkin kondisi di sebuah institusi di Indonesia ini mampu menggambarkannya. Mahasiswa malas belajar. Mahasiswa akan bersorak senang ketika kuliah dibatalkan. Dosen malas mengajar dan lebih senang ngobyek. Ketua jurusan malas mengurus dosen – dosen. Dekan malas mengurus Ketua Jurusan. Sampai rektor yang malas mengurusi semuanya. Semuanya malas!! Tapi, setiap hari mahasiswa pergi ke kampus, dosen mengajar, dan para birokrat kampus mengerjakan apa yang menjadi wewenangnya. Semua berjalan seperti biasanya, meski semuanya ogah-agahan dan tetap mengerjakan sesuatu di mana mereka tak menyukainya. Hingga dalam selang waktu tertentu, mahasiswa memperoleh apa yang banyak orang menamakannya sebagai ijasah. Dan dosen beserta para birokrat akan mendapatkan gaji sebagai haknya. Hanya sebatas itu. Hingga akhirnya rasa malas itu mengakar dan terefleksikan hingga saat ini.. Itu hanya potret buram sebuah institusi di Indonesia.
Begitu buramnya potret pendidikan di Indonesia sampai – sampai kita tak mampu melihat setitik cerah yang mungkin ada di kemudian hari. Semua orang telah ter-frame pada sistem yang ada dengan mengaburkan esensi dari proses itu sendiri. Tak ada perbedaan antara peringatan hardiknas tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya. Yang ada hanyalah realitas yang terlihat jelas bahwa proses pendidikan akan tetap berjalan walaupun tak banyak orang tahu untuk apakah pendidikan yang dienyamnya.

Pendidikan, kata-kata itu sekilas akan membawa hayalan kita akan sebuah gedung mewah, ruangan yang ber AC, kursi yang penuh dengan coret-coretan bekas contekan atau sekedar curhatan yang menghadap ke papan tulis yang terletak di depan, sebuah LCD yang dilengkapi dengan komputer, dan terdapat dosen yang memiliki gelar profesor. Pendidikan semacam ini mungkin hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat, dan yang lainnya hanya dapat menikmati sebuah hayalan itu. ya, hanya sebuah hayalan yang ada jauh di balik brankas uang sang kuasa.
Pendidikan, mungkin sebuah barang yang mewah, yang harganya tak sanggup dijangkau oleh kaum miskin. Banyak sekali pembayaran yang harus dibayarkan oleh masyarakat, hanya untuk memperoleh pendidikan. Setidaknya ini terjadi di kampusku, kampus yang jauh dari pusat pemerintahan, kampus yang terletak di kota kecil, sangat kecil, namun tak lebih kecil dari minat masyarakat untuk memperoleh pendidikan di kampus ini, pendidikan yang ternyata menguburnya bersama impiannya dengan tumpukan koper uang. Dan beruntunglah mereka yang telah berada di kampus ini. Beruntung karena setidaknya telah mendapatkan tiket yang harganya sangat mahal, hanya untuk mengambil ijazah.
Namun tidak dengan pendidikan yang ada di sebuah ruang 6 kali 5 meter, ruangan yang terletak di depan megahnya gedung kampusku. Ruangan itupun memberikan pendidikan “tanpa” tanpa uang POM… tanpa uang BOPP…. tanpa bayar SPP… hanya sekedar uang untuk beli es teh dan beberapa batang rokok. Dengan kata lain, apabila tidak merokok atau sedang berpuasa, tidak akan dipungut bayaran, karena tidak beli…. Ya, pendidikan begitu murah, sangat murah di sana, namun di sana tidak tersedia ijasah atau sertifikat. Maklum, pendidikan di sana tidak diakui pemerintah, dan tidak memiliki predikat atau berakreditasi. Namun di sana, di ruang kecil itu, telah melahirkan banyak orang penting di kota kecil ini. Ruangan itu juga melahirkan dosen untuk kampus di depannya. Tapi di sana tidak tersedia dosen, yang ada hanya para mahasiswa, dan tidak banyak anak-anak sekolah. Ruangan itu banyak memberikan pendidikan bagi para pengunjungnya, bahkan untuk para aktivis yang banyak menghabisi waktunya di tempat itu.
Hari itu, saat jingga mulai datang, diikuti dengan lentunan panggilan sholat bagi umat muslim, yang seolah memanggil gelap untuk menggantikannya. Saat itulah, di mana semua aktivis kampus pada eranya, dan sejumlah elemen lain mulai berkumpul di depan ruang kecil itu. Mereka yang berkumpul adalah orang-orang yang memiliki kenangan, kesan dan orang-orang yang sedang atau telah mengeyam pendidikan di tempat itu. Suasana pun meramai seiring makin pekatnya malam. Ada apa di sana? Hingga mereka mau meluangkan waktunya untuk bernostalgia. Ternyata hari itu merupakan malam terakhir untuk tempat yang menyediakan pendidikan gratis membuka pintunya untuk kembali menerima murid-muridnya lagi.
Ruangan kecil itu adalah warteg Fisip.
Apa lagi arti pendidikan itu, apa ada kaitannya dengan nilai mata uang, pinjaman hutang dengan luar negeri, kaitan apalagi…. Apa pendidikan itu layaknya hasil produksi, sebuah produk yang memiliki nilai jual? Apa lagi yang mau dijual? Satelit kita sudah laku, tambang emas kita juga laris, minyak? Apa karena sudah tidak ada lagi yang dapat dijual, makanya pendidikan kini dijual belikan? Apa pendidikan di warteg Fisip juga mau dijual? Itu ruangan “tanpa” harus bayar biaya pendaftaran dan pungutan-pungutan yang lain.
Siapa lagi mereka yang tega menjual tempat mengenyam pendidikan gratis di warteg Fisip? Kekuasaankah? Apa yang mereka pikirkan? UANG? Mungkin…
Alumni-alumni warteg itu telah menjadi bukti bahwa ruangan itu dapat melahirkan pemimpin, jadi ruangan kecil itu tak pantas digusur. Gusurlah keangkuhan sang pengusa, hancurkan tembok besar itu…. Namun siapa yang akan menggusur?
Dulu, ruangan itu memberikan pendidikan akan kuatnya mahasiswa, akan penderitaan orang-orang lemah, dan banyak hal lain, semua itu menjadikan alasan untuk tetap berjuang, dan saat itu kekuasaan yang angkuh dapat dihancurkan, kekuasaan yang selama 32 tahun berdiri dengan kokohnya tembok-tembok keangkuhan. Dan kini, ruang pendidikan itu telah tertutup rapat-rapat pintunya. Akankah terbuka kembali? Karena pasti banyak yang membutuhkan pendidikan di sana, karena mungkin tak lagi puas akan pendidikan yang formal dan tak membebaskan itu.
Namun harapan akan kampusku yang dahulu dikenal dengan kampus rakyat, kini tak lagi merakyat, mereka telah menggusur hak rakyat miskin untuk kuliah, dan mereka pun menggusur warteg yang berarti menggusur pendidikannya pula.
Hingga terayun sebuah pedang demokrasi dan menggoreskannya pada dinding-dinding kekuasaan untuk mencatat sejarah. Dan di dinding itu pula perjalanan warteg Fisip akan terukir di sana.[]

AKU lelah. Perkuliahan membuatku lelah. Mata kuliah Manajemen Portofolio dan Investasi yang semestinya berlangsung sebanyak tiga SKS, tiba-tiba hari ini berubah jumlah menjadi enam SKS. Itu adalah permintaan dosen untuk mengganti hari membolosnya. Aku dan para mahasiswa sekelasku tak kuasa menolak, dan hanya bisa menuruti keinginannya. Tiga SKS pertama, suasana perkuliahan berjalan begitu syahdu dari siang hingga sore. Kekacauan mulai terjadi di sisa tiga SKS selanjutnya.

Kekacauan itu tidak lagi dapat dielakkan meskipun dosen telah memberikan waktu kepada mahasiswa untuk rehat sejenak menunaikan shalat ashar bagi umat Islam. Aku tahu dan merasakan daya tahan otak dan fisik beberapa mahasiswa mulai berkurang. Rasa itu berekspresi menjadi kegaduhan dan ketidakfokusan untuk terus memperhatikan angka-angka, rumus-rumus, dan peristilahan-peristilahan ilmiah dalam bahasa Inggris. Semakin kacau, kelas pun ditutup dosen dengan sangat terburu-buru. Dan itu semua adalah demi desain pelaksanaan kuliah yang direncanakan oleh dosen.

Tak disangka langit sudah gelap, menunjuk waktu maghrib, dan air yang berbentuk seperti jarum-jarum turun dengan tajamnya, menjebakku untuk tetap bertahan di kampus. Tak ada yang bisa kulakukan banyak saat itu, selain menapaki satu per satu jalanan imaji di benakku dengan sangat bebas. Kira-kira sudah sepuluh tahun yang lalu, di tahun pertama aku mencicipi seragam putih biru. Aku berhenti di pondok tua sekolah menengah pertamaku. Tapi bukan sekolah yang menarikku untuk berhenti berteduh di sana. Sebab sekolah hanyalah benda, tempat yang mengingatkanku kepada sosok seseorang perempuan.

Seseorang bernama ELLIN-lah yang menarikku ke dalam hamparan imaji, mengingat peristiwa yang terjadi pada waktu sepuluh tahun lalu. Pertama kali aku mendengar, nama itu menjadi primadona yang selalu diperbincangkan para siswa laki-laki. Waktu itu, masa awal transisi dari SD ke SMP, masih cukup dini untuk tahu dan menghafal nama tiga puluh lebih teman sekelasku. Namun tercipta juga momen pemilihan struktur pengurus harian kelas, yang membuatku bisa mengenal nama Ellin. Memang seindah namanya, dengan tahi lalat yang berada persis di pipi sebelah kanan mempermanis paras nan ayu itu. Keanggunannya begitu terpancar, saat rambut hitam pekat yang terurai panjang dielus-elus angin dengan lembut. Sosok perempuan ini pun sepertinya sudah terlatih untuk menjadi seorang bertangan besi, karakter pekerja keras.

Hari itu adalah jadwal giliranku piket kebersihan kelas. Tapi aku malah asyik berbincang dengan kawan sebangku, Husni. Dari arah pembicaraannya, dia ternyata sedang naksir Ellin. Sepertinya Husni sudah amat mengenal banyak hal mengenai latar belakang kehidupan Ellin. Aku tidak mengetahui banyak hal soal perasaan cinta, aku hanya bisa tertawa dalam hati mendengarkan ocehan dari mulut besar Husni. Sungguh, pembicaraan saat itu sampai membuatku terlupa akan kewajiban menjaga kebersihan kelas.

Ellin menghampiri kami berdua. Bukan sebuah sapaan yang hendak dia ucapkan, malah sebuah tamparan keras di mukaku. Suaranya bernada tinggi, membentak seperti halilintar yang menyambar. Aku tak menyangka hal itu terucap dari perempuan seanggunnya. Keanggunannya tetap menutupi kesalahan dan sikap kerasnya.

Ellin telah menjadi ideologi yang aku anut. Aku buta dari kekeliruan Ellin yang mengambil alih semua tugas piket kebersihan kelas. Sikap overlapping itu ditumpangi ego yang sangat besar. Kebanggaan akan dirinya sebagai seseorang yang mampu melakukan semua hal dengan tangannya sendiri. Di dalam kelas, di ruang yang dimiliki tiap individu, sikap itu bergerak menuju perasaan putus asa dan berujung dalam kemarahan pada orang-orang yang tidak berkelakuan seperti dia. Ellin hanya akan menjadikan seperti manusia setengah dewi. Sementara aku, baginya hanyalah orang yang tidak berdedikasi, bertanggung jawab terhadap kewajiban tugas-tugasku. Aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri, aku tidak mampu mewujud ke dalam bentukku seperti Ellin. Atau entah karena ketidakmampuanku mengungkapkan kekeliruan sikapnya saat itu. Aku semakin merasa minder dan kerdil.

Imaji bayangan keanggunan itu terputus. Sejak hari itu, aku semakin jarang dan tidak lagi melihatnya di sekolah. Hanya kabar-kabar dan gosip buruk tentangnya yang terdengar. Ada kabar yang menyebutkan, dia sudah bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang. Bahkan ada pula yang mengatakan, Ellin bekerja sebagai seorang penjaja seks.

Husni, yang mengenal secara dekat Ellin, membenarkan kondisi Ellin yang sering bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi di keluarganya. Tapi dia pun tidak menyatakan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Ellin. Dari selentingan-selentingan itu, aku lebih mempercayai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Ellin adalah sebagai buruh pabrik di Tangerang.

Terlepas dari gosip-gosip miring itu semua, Ellin tetap tidak akan hadir lagi bersama kami. Ia telah dipaksa pergi ke tempat lain. Tempat yang bukan untuk seorang perempuan seumurannya. Bekerja, mencari penghasilan uang tidak pantas untuk dilakukannya waktu itu.

Keputusannya untuk meninggalkan sekolah bukanlah pilihan yang diinginkannya. Desakan dari kebutuhan pokok, keterbatasan kondisi ekonomi didobrak dengan desakan dari otoritas orang tua meredupkan pancaran potensi keanggunannya yang semestinya terus berkembang dari kebebasan. Bahkan desakan dari keterbatasan pikiran untuk memahami pendidikan yang dilakukan di sekolah pun hanya ditujukan untuk kembali menyelesaikan permasalahan kondisi ekonomi.

Kini, aku terbangun dari hamparan imaji sepuluh tahun yang lalu. Di kampusku kondisi pendidikannya masih serupa dengan gambaran semasa itu. Aku merasakan sebagai manusia yang berada dalam kejumudan yang terus menerus menjadi manusia primitif. Layaknya teori evolusi Darwin yang tak berlaku bagi kehidupan manusia-manusia di dalam dunia lembaga pendidikan.[]

Selasa, 21 April 2009 yang lalu, nampak beberapa anggota BEM dari setiap fakultas, mahasiswa dan pihak rektorat yang diwakili Rektor, Pembantu Rektor I dan Pembantu Rektor III mendatangi Gedung Rektorat lantai 3 untuk mengadakan sebuah pertemuan. Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama dengan rektor UNSOED untuk membahas permasalahan Bantuan Operasional Pendidikan dan Pembangunan (BOPP). Acara yang didatangi oleh tidak lebih dari 50 orang mahasiswa itu tentu saja ditunggu-tunggu oleh kebanyakan mahasiswa UNSOED, dikarenakan masalah BOPP sudah menjadi isu besar mengenai kencenderungan akan komersialisasi pendidikan di UNSOED. Oleh sebab itu, acara yang diperantarai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi (BEM FE) merupakan momen yang cukup penting untuk mengklarifikasi isu BOPP yang berkembang tersebut.

Dalam kesempatan itu, Prof. Soedjarwo selaku rector Unsoed menyatakan bahwa kebutuhan akan fasilitas yang akan menunjang akademik mahasiswa dan peningkatan kualitas dan mutu menjadi dasar pembentukan BOPP. Selain alasan itu, BOPP pun merupakan solusi atas pembubaran POM. POM dinilai sebagai sebuah proyek yang tidak berhasil untuk menunjang kemajuan secara menyeluruh di tiap Fakultas. “ Untuk penarikan dana POM di tiap fakultas , pihak universitas tidak tahu menahu. Bagi fakultas-fakultas yang peminatnya banyak, tentu mereka bisa memenuhi kebutuhannya. Tetapi untuk fakultas yang peminatnya sedikit, mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya padahal biaya yang mereka butuhkan juga sangat besar,” ujar Prof.Soedjarwo.

Lebih lanjut, beliau memaparkan data-data berupa komitmen Unsoed untuk membantu mahasiswanya. Diantaranya keringanan biaya pendidikan 2% dari total mahasiswa Unsoed tiap semester, pembebasan biaya pendidikan bagi mahasiswa korban bencana alam, dan pembebasan SPP bagi mahasiswa yang diterima tanpa tes dari daerah transmigrasi/tertinggal. Namun ketika ditanyakan perihal komitmen Unsoed mengenai BOPP yaitu adanya indikasi “pemaksaan” lewat level-level biaya dalam BOPP, Pembantu Rektor I, Nurul Anwar, berdalih bahwa Unsoed tidak boleh memaksakan jika ada orang yang ingin “beramal jariah” dengan menyumbang untuk Unsoed. Sebuah pernyataan yang kontradiktif karena sumbangan bersifat sukarela, sedangkan BOPP memberikan pilihan untuk menyumbang dengan ketentuan nominal - nominal tertentu. Pun, ketika dipertanyakan mengenai pernyataan dasar penetapan penerimaan mahasiswa baru dengan prosentase 60 %- 40% , dengan 60% hasil ujian dan 40% adalah jumlah sumbangan seperti yang terdapat dalam form pendaftaran,Prof. Soedjarwo pun lagi-lagi berdalih yang intinya bahwa BOPP bukan syarat diterimanya mahasiswa yang bersangkutan, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai dasar penetapan prosentase tersebut.

Meskipun mengakui bahwa POM adalah sebuah sistem yang tidak berjalan dengan baik,, Prof.Soedjarwo enggan memberikan keterangan lebih lanjut ketika ditanya mengenai masalah tersebut. Beliau hanya memberikan sedikit mengenai POM ke depannya,” POM ke depannya fungsinya hanya sebatas monitoring”, tutur beliau, “ Belum lunasnya pembayaran POM tidak mempengaruhi akademik, mahasiswa dapat tetap mengambil KHS maupun ijasah”, tutup beliau, singkat. (nov-fan)

Kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan (yg sebenarnya sudah cukup baik) di Indonesia yang disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru berkompetensi untuk mengajar di daerah-daerah.Sebenarnya kurikulum Indonesia tidak kalah dari kurikulum di negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal. Kurang sadarnya masyarakat mengenai betapa pentingnya pendidik dalam membentuk generasi mendatang sehingga profesi ini tidak begitu dihargai.

Sistem pendidikan yang sering berganti-ganti, bukanlah masalah utama, yang menjadi masalah utama adalah pelaksanaan di lapangan, kurang optimal. Terbatasnya fasilitas untuk pembelajaran baik bagi pengajar dan yang belajar. Hal ini terkait terbatasnya dana pendidikan yang disediakan pemerintah.

Banyak sekali kegiatan yang dilakukan depdiknas untuk meningkatkan kompetensi guru, tetapi tindak lanjut yang tidak membuahkan hasil dari kegiatan semacam penataran, sosialisasi. Jadi terkesan yang penting kegiatan itu terlaksana selanjutnya, tanpa memperhatikan manfaat yang dapat diperoleh.

Jika kondisi semacam itu tidak diubah untuk dibenahi kecil harapan pendidikan bisa lebih maju/baik. Maka pendidikan Indonesia sulit untuk maju. Selama ini kesan kuat bahwa pendidikan yg berkualitas mesti bermodal/berbiaya besar. Tapi oleh pemerintah itu tidak ditanggapi, kita lihat saja anggaran pendidikan dalam APBN itu. Padahal semua tahu bahwa pendidikan akan membaik jika gurunya berkompetensi dan cukup dana untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran.

Adanya biaya pendidikan yang mahal, menyulitkan sebagian masyarakat Indonesia yang kurang mampu. Hal ini dapat mengakibatkan banyaknya anak-anak Indonesia yang terancam putus sekolah. Oleh karena itu, sangat lah di perlukan peningkatan dana pendidikan di Indonesia agar dapat membantu masyarakat Indonesia yang kurang mampu melalui program beasiswa, orang tua asuh, dan dapat juga dengan pembebasan biaya pendidikan

Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita. Sebagai siswa dan sekaligus sebagai calon pendidik, kami merasakan ketimpangan-ketimpangan pendidikan, seperti :

1. Kurikulum

Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Gembar-gembor kurikulum baru, katanya lebih baiklah, lebih tepat sasaran. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum. Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa maksudnya dan yang beda hanya bukunya.

Pemerintah sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam prakteknya Guru di Indonesia yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih perlu pembenahan. Hal ini terjadi karena pemerintah menginkan hasil yang baik tapi lupa dengan elemen-elemen dasar dalam pendidikan. Contohnya guru, banyak guru honorer yang masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan keberhasilan pendidikan yang kita tempuh. Menurut slogan jawa, guru itu digugu dan ditiru, tapi fakta yang ada, banyak masyarakat yang memandang rendah terhadap profesi guru, padahal tanpa guru kita tidak akan bisa menjadi seperti sekarang ini.

2. Biaya

Akhir-akhir ini biaya pendidikan semakin mahal, seperti mengalami kenaikan BBM. Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan.

Sekarang ini memang digalakan program wajib belajar 9 tahun dengan bantuan Bos. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah yang terpencil nan jauh disana?? Apa mereka sudah mengenyam pendidikan?? Padahal mereka sebagai WNI berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

Akhir-akhir ini pemerintah dalam system pendidikan yang baru akan membagi pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu. Hal ini saya rasa sangat konyol, bukankah kebijakan ini sama saja dengan mengotak-kotakan pendidikan kita, mau dikemanakan pendidikan kita bila kita terus diam dan pasrah menerima keputusan Pemerintah?? Ironis sekali bila kebijakan ini benar-benar terjadi.

3. Tujuan pendidikan

Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu menyesatkan. Bagaiamana tidak? Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun pejabat-pejabat). Bukankah ini memalukan?? Berarti kalau kita punya uang maka kita tidak usah sekolah tapi sama dengan yang sekolah karena memiliki ijasah. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan dapat mengambil suatu keputusan.

4. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang

DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi Undang-Undang. Selama tiga tahun itupula, UU yang berisi 14 bab dan 69 pasal banyak mengalami perubahan. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan.

Hal yang dikhawatirkan, undang-undang baru ini akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Anggapan mahasiswa ini, dikatakan Ketua Pansus RUU BHP Irwan Prayitno, salah besar. Pendanaan. 20 persen operasional dibiayai pemerintah. Untuk investasi dan bangunan seluruhnya dibiayai pemerintah.

UU BHP juga menetapkan perguruan tinggi negeri atau PTS wajib memberikan beasiswa sebesar 20 persen dari seluruh jumlah mahasiswa di lembaganya. Namun, jika ternyata Perguruan Tinggi yang terkait tidak mempunyai dana yang mencukupi, untuk memberikan beasiswa, akhirnya dana tersebut akan dibebankan kepada mahasiswa lagi. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan dalam jangka panjang. UU BHP sendiri saat ini sedang dalam proses mencari input. Jadi, untuk memperkuat status hukum PT BHMN, ia akan diatur dalam UU BHP.

5. Kontoversi diselenggaraknnya UN

Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan. Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.

Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.

Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

6. Kesrusakan fasilitas sekolah

Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana Bank Dunia pada Komite Sekolah.

Menurut saya, kerusakan bangunan pendidikan jelas akan mempengaruhi kualitas pendidikan karena secara psikologis seorang anak akan merasa tidak nyaman belajar pada kondisi ruanagan yang hampir roboh.

Bangsaku bangkitlah dengan Pendidikanmu, agar kita menjadi singa yang siap mengaung keseluruh dunia bukan seperti kambing yang selalu malu menunjukan dirinya.

Bicara tentang pendidikan di Indonesia tidak akan ada habisnya. Banyak masalah yang ditemui dalam pendidikan di Indonesia saat ini. Bahkan mungkin sebagian masyarakat Indonesia pun tidak mengerti apa arti pendidikan atau bahkan tidak tau akan pentinnya pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajarkan kebudayaan dari generasi ke generasi selanjutnya.

Masalah pendidikan yang utama adalah sistem pendidikan yang dilaksanakan di lapangan atau prakteknya kurang optimal. Tidak hanya itu saja, faktor lain yang menyebabkan masalah utama dalam pendidikan adalah terbatasnya fasilitas untuk pembelajaran baik bagi pengajar dan anak didik. Hal ini terkait terbatasnya dana pendidikan yang disediakan oleh pemerintah dan guru-guru yang berkompetensi. Banyak sekali kegiatan yang dilakukan Depdiknas untuk meningkatkan kompetensi guru, seperti kegiatan semacam penataran dan sosialisasi, namun tidak membuahkan hasil dari kegiatan tersebut. Sebenarnya kurikulum di Indonesia tidak kalah dari kurikulum di negara maju, tetapi pelaksanaannya yang masih jauh dari optimal, serta kurang sadarnya masyarakat mengenai betapa pentingnya pengajar dalam membentuk generasi mendatang. Dan sering kali profesi pengajar tidak begitu dihargai.

Adanya biaya pendidikan yang mahal juga menjadi masalah dalam pendidikan. Biaya mahal menyulitkan sebagian masyarakat Indonesia yang kurang mampu. Hal ini dapat mengakibatkan banyaknya anak-anak Indonesia yang terancam putus sekolah. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan peningkatan dana pendidikan di Indonesia agar dapat membantu masyarakat Indonesia yang kurang mampu melalui program beasiswa, orang tua asuh, dan dapat juga dengan pembebasan biaya pendidikan.

Jika kondisi yang disebutkan di atas tidak diubah dan tidak dibenahi, maka kecil harapan pendidikan bisa lebih maju dan lebih baik. Selama ini terkesan kuat bahwa pendidikan yang berkualitas harus bermodal atau berbiaya besar. Tapi oleh pemerintah hal tersebut tidak ditanggapi. Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan akan membaik jika pengajarnya berkompetensi dan tersedianya cukup dana untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran.