Ellin

Posted 09.12 by Admin in
AKU lelah. Perkuliahan membuatku lelah. Mata kuliah Manajemen Portofolio dan Investasi yang semestinya berlangsung sebanyak tiga SKS, tiba-tiba hari ini berubah jumlah menjadi enam SKS. Itu adalah permintaan dosen untuk mengganti hari membolosnya. Aku dan para mahasiswa sekelasku tak kuasa menolak, dan hanya bisa menuruti keinginannya. Tiga SKS pertama, suasana perkuliahan berjalan begitu syahdu dari siang hingga sore. Kekacauan mulai terjadi di sisa tiga SKS selanjutnya.

Kekacauan itu tidak lagi dapat dielakkan meskipun dosen telah memberikan waktu kepada mahasiswa untuk rehat sejenak menunaikan shalat ashar bagi umat Islam. Aku tahu dan merasakan daya tahan otak dan fisik beberapa mahasiswa mulai berkurang. Rasa itu berekspresi menjadi kegaduhan dan ketidakfokusan untuk terus memperhatikan angka-angka, rumus-rumus, dan peristilahan-peristilahan ilmiah dalam bahasa Inggris. Semakin kacau, kelas pun ditutup dosen dengan sangat terburu-buru. Dan itu semua adalah demi desain pelaksanaan kuliah yang direncanakan oleh dosen.

Tak disangka langit sudah gelap, menunjuk waktu maghrib, dan air yang berbentuk seperti jarum-jarum turun dengan tajamnya, menjebakku untuk tetap bertahan di kampus. Tak ada yang bisa kulakukan banyak saat itu, selain menapaki satu per satu jalanan imaji di benakku dengan sangat bebas. Kira-kira sudah sepuluh tahun yang lalu, di tahun pertama aku mencicipi seragam putih biru. Aku berhenti di pondok tua sekolah menengah pertamaku. Tapi bukan sekolah yang menarikku untuk berhenti berteduh di sana. Sebab sekolah hanyalah benda, tempat yang mengingatkanku kepada sosok seseorang perempuan.

Seseorang bernama ELLIN-lah yang menarikku ke dalam hamparan imaji, mengingat peristiwa yang terjadi pada waktu sepuluh tahun lalu. Pertama kali aku mendengar, nama itu menjadi primadona yang selalu diperbincangkan para siswa laki-laki. Waktu itu, masa awal transisi dari SD ke SMP, masih cukup dini untuk tahu dan menghafal nama tiga puluh lebih teman sekelasku. Namun tercipta juga momen pemilihan struktur pengurus harian kelas, yang membuatku bisa mengenal nama Ellin. Memang seindah namanya, dengan tahi lalat yang berada persis di pipi sebelah kanan mempermanis paras nan ayu itu. Keanggunannya begitu terpancar, saat rambut hitam pekat yang terurai panjang dielus-elus angin dengan lembut. Sosok perempuan ini pun sepertinya sudah terlatih untuk menjadi seorang bertangan besi, karakter pekerja keras.

Hari itu adalah jadwal giliranku piket kebersihan kelas. Tapi aku malah asyik berbincang dengan kawan sebangku, Husni. Dari arah pembicaraannya, dia ternyata sedang naksir Ellin. Sepertinya Husni sudah amat mengenal banyak hal mengenai latar belakang kehidupan Ellin. Aku tidak mengetahui banyak hal soal perasaan cinta, aku hanya bisa tertawa dalam hati mendengarkan ocehan dari mulut besar Husni. Sungguh, pembicaraan saat itu sampai membuatku terlupa akan kewajiban menjaga kebersihan kelas.

Ellin menghampiri kami berdua. Bukan sebuah sapaan yang hendak dia ucapkan, malah sebuah tamparan keras di mukaku. Suaranya bernada tinggi, membentak seperti halilintar yang menyambar. Aku tak menyangka hal itu terucap dari perempuan seanggunnya. Keanggunannya tetap menutupi kesalahan dan sikap kerasnya.

Ellin telah menjadi ideologi yang aku anut. Aku buta dari kekeliruan Ellin yang mengambil alih semua tugas piket kebersihan kelas. Sikap overlapping itu ditumpangi ego yang sangat besar. Kebanggaan akan dirinya sebagai seseorang yang mampu melakukan semua hal dengan tangannya sendiri. Di dalam kelas, di ruang yang dimiliki tiap individu, sikap itu bergerak menuju perasaan putus asa dan berujung dalam kemarahan pada orang-orang yang tidak berkelakuan seperti dia. Ellin hanya akan menjadikan seperti manusia setengah dewi. Sementara aku, baginya hanyalah orang yang tidak berdedikasi, bertanggung jawab terhadap kewajiban tugas-tugasku. Aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri, aku tidak mampu mewujud ke dalam bentukku seperti Ellin. Atau entah karena ketidakmampuanku mengungkapkan kekeliruan sikapnya saat itu. Aku semakin merasa minder dan kerdil.

Imaji bayangan keanggunan itu terputus. Sejak hari itu, aku semakin jarang dan tidak lagi melihatnya di sekolah. Hanya kabar-kabar dan gosip buruk tentangnya yang terdengar. Ada kabar yang menyebutkan, dia sudah bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang. Bahkan ada pula yang mengatakan, Ellin bekerja sebagai seorang penjaja seks.

Husni, yang mengenal secara dekat Ellin, membenarkan kondisi Ellin yang sering bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi di keluarganya. Tapi dia pun tidak menyatakan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Ellin. Dari selentingan-selentingan itu, aku lebih mempercayai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Ellin adalah sebagai buruh pabrik di Tangerang.

Terlepas dari gosip-gosip miring itu semua, Ellin tetap tidak akan hadir lagi bersama kami. Ia telah dipaksa pergi ke tempat lain. Tempat yang bukan untuk seorang perempuan seumurannya. Bekerja, mencari penghasilan uang tidak pantas untuk dilakukannya waktu itu.

Keputusannya untuk meninggalkan sekolah bukanlah pilihan yang diinginkannya. Desakan dari kebutuhan pokok, keterbatasan kondisi ekonomi didobrak dengan desakan dari otoritas orang tua meredupkan pancaran potensi keanggunannya yang semestinya terus berkembang dari kebebasan. Bahkan desakan dari keterbatasan pikiran untuk memahami pendidikan yang dilakukan di sekolah pun hanya ditujukan untuk kembali menyelesaikan permasalahan kondisi ekonomi.

Kini, aku terbangun dari hamparan imaji sepuluh tahun yang lalu. Di kampusku kondisi pendidikannya masih serupa dengan gambaran semasa itu. Aku merasakan sebagai manusia yang berada dalam kejumudan yang terus menerus menjadi manusia primitif. Layaknya teori evolusi Darwin yang tak berlaku bagi kehidupan manusia-manusia di dalam dunia lembaga pendidikan.[]



0 comment(s) to... “Ellin”

0 komentar:

Posting Komentar