Jika bersedih ,,,
Panggilah jiwamu dengan harapan sebagai janji
Karena kebaikan bagi jiwa adalah janji

Jadikan harapanmu,,,
Sebagai perisai atas serangan putus asamu
Hingga waktu akan menghapus kesedihan itu

Tak usah khawatir akan terjadi sesuatu
Sebab ini akan membuat orang hidup,
mati sebelum kematin itu sendiri

Kesedihan itu tidak akan abadi,
Seperti juga halnya kesenagan yang tidak akan lestari,,,


_Hega Elisa_


Bayang-bayang pemutusan hubungan kerja dan kebangkrutan industri sudah mulai terasa akhir-akhir ini. Dampak yang paling terlihat dan terasa adalah penurunan ekspor sektor-sektor primer, seperti minyak sawit dan karet, yang selama ini merupakan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun terlihat sedikit ada titik cerah menjelang diselenggarakannya pemilu 2009.
Dari artikel yang dilansir dari www.google.com, berdasarkan hasil simulasi model Input-Output 2000, Dartanto menjelaskan, “Dampak pemilu 2009 terhadap perekonomian Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, kegiatan Pemilu 2009 akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,08 %, sehingga proyeksi pertumbuhan tahun 2009 dapat mencapai 4-5 %.
Kedua, pengeluaran pemilu sebesar Rp 30 triliun akan membangkitkan dampak tidak langsung dalam perekonomian sebesar Rp 28 triliun. Jadi,total dampak langsung dan tidak langsung pemilu 2009 adalah Rp 58 triliun. Dampak tidak langsung dihasilkan oleh multiplier effect kegiatan kampanye yang menggairahkan aktivitas ekonomi. Kegiatan percetakan kertas suara, spanduk, pamflet, dan bendera tidak hanya akan mendorong peningkatan aktivitas di sektor-sektor tersebut, tetapi juga meningkatkan aktivitas di sektor-sektor lain yang berkaitan.
Ketiga, sektor-sektor yang akan mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor telekomunikasi (7,7 %), transportasi (5 %), sektor industri percetakan/kertas (9,4 %), sektor industri pakaian jadi (3,4 %), serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran (2 %). Pertumbuhan yang tinggi di sektor industri pakaian jadi, percetakan/kertas, dan sektor perdagangan-hotel-restoran diharapkan mampu menahan laju penurunan aktivitas sektor-sektor tersebut sebagai akibat krisis global.
Keempat, dampak Pemilu 2009 terhadap perekonomian di Indonesia sangat bergantung pada alokasi dana kampanye. Kampanye melalui iklan televisi dan koran memiliki multiplier effect yang rendah terhadap perekonomian. Selain itu, manfaat ekonominya lebih banyak dinikmati oleh pengusaha-pengusaha media. Sedangkan model kampanye langsung turun ke bawah, seperti membagi-bagikan sembako, kaos, dan pengobatan gratis, menghasilkan multiplier effect yang tinggi terhadap perekonomian
Dana yang dikeluarkan pada Pemilu 2009 diperkirakan mencapai Rp 29-30 triliun. Dana tersebut berasal dari dana APBN, APBD, dan dana yang terbesar adalah dana kampanye para calon anggota DPR/DPRD, DPD, dan calon presiden. Berdasarkan data Bappenas tahun 2008, dana anggaran Pemilu 2009 yang berasal dari APBN sekitar Rp 13,5 triliun. Dana sumbangan pemerintah daerah seluruh Indonesia (APBD) untuk pembiayaan pemilu sekitar Rp 1-2 triliun. Sedangkan dana kampanye calon anggota DPR/DPRD dan DPD seluruh Indonesia sekitar Rp 14-15 triliun. Berdasarkan data KPU pusat, daftar calon tetap DPR sebanyak 11.225 orang dan daftar calon tetap DPD sebanyak 1.116 orang. Dengan asumsi dana kampanye Rp 500 juta per calon anggota DPR dan Rp 1 miliar per calon anggota DPD, akan terkumpul dana sekitar Rp 6,7 triliun. Sedangkan pengeluaran dari calon anggota DPRD provinsi (33 provinsi), dengan asumsi 500 calon per provinsi dan Rp 200 juta per calon, akan terkumpul dana sekitar Rp 3,3 triliun. Sisi lain, pengeluaran calon anggota DPRD kabupaten (349 kabupaten dan 91 kota), dengan asumsi 200 calon per kabupaten dan Rp 50 juta per calon, akan terkumpul dana Rp 4,4 triliun. Namun dari data Departemen Keuangan tahun 2008, mengatakan bahwa ,“Pada 2009, perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi dan diperkirakan tumbuh sekitar 4,5%-5,5%. Persentase tersebut diharapkan jauh dari cukup untuk menyerap pengangguran dan pengentasan masyarakat miskin di Indonesia.
Sebagai mahasiswa, kita tidak perlu pesimistis melihat kondisi di Indonesia saat ini, karena perekonomian Indonesia tidak akan terpuruk terlalu dalam pada 2009. Pemilu 2009, merupakan sebuah hajatan politik dengan dana triliunan rupiah, dapat menjadi kebijakan countercyclical yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi di Indonesia. Kita semua hanya bisa berharap semoga Pemilu 2009 dapat berjalan lancar, aman, damai, dan mampu menghasilkan wakil rakyat/pemimpin yang berkualitas serta menjaga amanah, sehingga mampu meningkatkan kembali aktivitas ekonomi Indonesia pada 2010.(lisa)


Pemilu legislalif yang rencananya akan digelar 9 April 2009 mendatang menjadi pemilu yang penuh dengan problematika. Kesiapan KPU dalam menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan kembali diuji dengan berbagai permasalahan seperti urusan logistik, Daftar Pemilih Tetap (DPT), dan indikasi jumlah golput yang meningkat. Sempat muncul wacana pemunduran jadwal pelaksanaan pemilu selama sebulan terkait dengan ketidakberesan tersebut. Mewujudkan pemilu yang berkualitas dengan partisipasi masyarakat yang tinggi merupakan sebuah tantangan bagi negara kita apalagi Indonesia adalah negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia. Pemilu di Indonesia tentu akan menjadi rujukan bagi negara lain terutama di wilayah kawasan. Dengan hadirnya 38 partai politik nasional yang sama-sama menawarkan jargon keadilan dan kemakmuran tentu akan membuat rakyat lebih pusing lagi dalam menentukan pilihannya. Masing-masing partai sangat sulit dibedakan baik dari sisi program kerja, visi, dan misinya sehingga dalam setiap kampanye isu kesejahteraan tetap dijadikan alat jualan dengan mengeksploitasi kemiskinan. Penulis mencoba membandingkan dengan pemilu di Amerika Serikat tahun lalu di mana masing-masing partai dan kandidat presiden mempunyai pandangan yang dapat terdiferensiasi sehingga masyarakat AS akan mudah untuk menentukan pilihannya dan tentunya menciptakan pemilu dengan tingkat partisipasi yang tinggi selain karena faktor tokoh-tokoh baru yang membawa isu perubahan. Di Indonesia rupanya sistem kepartaian kita masih menghambat munculnya tokoh-tokoh alternatif yang membawa pesan perubahan. Dari daftar caleg yang diajukan partai politik terutama partai politik besar masih didominasi muku-muka lama bahkan ada beberapa partai yang secara pragmatis merekrut caleg dari kalangan “populer” untuk mendongkrak perolehan suaranya. Sekali lagi bahwa sistem pengkaderan di dalam partai poltik menjadi semacam prime mover dalam mewujudkan pemimpin yang berkualitas. Pemilu lima tahunan sebagai ajang regenerasi politik harus mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan jangan sampai demokrasi Indonesia yang mahal harganya ini terus menjadi demokrasi yang bersifat prosedural, bukan demokrasi substansial. Rakyat tetap perlu menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin yang dianggap mampu karena itu merupakan sikap politik yang kostruktif dalam rangka ikut menentukan arah bangsa ini ke depan.[]Kuwat Haryatmo


Pemilu yang akan diadakan pada bulan April 2009 mendatang , tidak menutup kemungkinan akan terjadi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput). Kata golongan putih pertama kali muncul pada pemilu tahun 1971, yang lebih dikenal di masyarakat dengan sebutan Golput. Arief Budiman, pemerhati pendidikan mengatakan bahwa, “Istilah golput sengaja dimunculkan sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (yang sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politik kepada partai Golkar “.

Dari data yang diperoleh dari BPS, pada setiap pelaksanaan pemilu, tingkat golput semakin tinggi. Sejak masa orde baru, terjadi peningkatan jumlah golput dari 10,21% pada pemilu 1999 menjadi 23,34% pada pemilu 2004. Bahkan pilpres putaran pertama angka golput mencapai 21,5%. Angka ini meningkat menjadi 23,3% pada pilpres putaran kedua. Peningkatan angka golput tidak hanya terjadi di pemilu legislatif dan pilpres, namun juga terjadi dalam pilkada yang rata-rata berkisar 27,9%. Kemungkinan adanya golput ini didasarkan pada tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dan calon-calon yang dicalonkan oleh para partai politik, serta tidak adanya figur-figur baru yang lebih menjanjikan masyarakat.

Banyak faktor yang menyebabkan masyakarat memilih golput. Secara umum sebagian masyarakat yang golput dalam pemilu maupun pilkada dapat dikategorikan atas dua kelompok. Pertama, karena faktor teknis antara lain seperti tidak terdaftar sebagai pemilih, salah coblos dan alasan-alasan lain yang bersumber pada kekacauan manajemen pemilihan. Kedua, karena faktor politik. Alasan Golput karena faktor politik dapat dikelompokkan lagi menjadi 2, yaitu:
1. Rasa kecewa atau tidak percaya terhadap partai politik (parpol). Masyarakat menganggap kinerja parpol buruk dan tidak memuaskan publik. Hal ini terbukti dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil-wakil partai politik di DPR. Jajak pendapat Kompas (10/3/2008) menggambarkan 68,5 % dari responden menganggap kinerja DPR buruk, 84% mengatakan DPR tidak serius awasi kerja pemerintah, 52,5 % UU produk DPR tidak memihak kepada rakyat”.
2.Rasa tidak percaya terhadap sistem kehidupan yang sedang berlaku. Masyarakat kelompok menganggap penyebab berbagai kebobrokan dan kehancuran disebabkan sistem yang rusak yang berjalan di atas rel Kapitalisme. Sistem ini hanya mengabdi pada kepentingan pribadi, kelompok, dan partainya. Sementara rakyat hanya menjadi alat yang legal untuk meraih kekuasaan melalui pilkada dan pemilu. Sehingga masyarakat menganggap hanyalah harapan hampa bagi perbaikan dalam pemilu jika yang terjadi hanya perubahan personil pemimpin tanpa disertai perubahan sistem.

Pemilu diibaratkan sebuah mobil…dari dulu yang dipikirkan hanya bagaimana mengganti sopir, sopir, dan sopir. Biaya yang dikeluarkan dalam Pemilu sangat besar,namun biaya besar tersebut hanya untuk mencari sopir…sopir…dan sopir lagi…
Padahal mobilnya sudah tidak layak dan banyak kerusakannya.Apalagi jika di tambah dengan adanya Golput.

Di negera manapun yang menjalankan sistem demokrasi, bahkan di negara yang sudah maju demokrasinya, golput adalah fenomena dalam demokrasi. Inilah persoalan yang harus kita hadapi,Jadi jangan beranggapan bahwa golput merupakan menghilangkan masalah, namun sebaliknya bahkan akan menambah masalah yang baru. Salah satu cara untuk mengatasi golput antara lain dengan melakukan sosialisasi tentang pemilu, sehingga diharapkan pengetahuan masyarakat lebih terbuka dan tingkat golput terminimalisir. Cara lain yaitu dengan membubuhkan harapan dan optimisme kepada masyarakat bahwa pemilu adalah salah satu cara mewujudkan asas kedaulatan yaitu kekuasaan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sering kali kita tidak menyadari pentingnya suara yang kita keluarkan di dalam pemilu. Mungkin hanya akan terjadi perubahan kecil bahkan terkadang tidak terlihat secara kasat mata. Semoga kita lebih bijak dalam memilih.(lisa)


Shaksepeare pernah bertanya, “Apalah artinya sebuah nama?” Lewat MOS, SASMI mencoba menjawabnya. Kalau dulu SASMI punya event yang namanya Musik Satu Bulan atau M1B, nah kalau sekarang namanya diganti jadi Music On Saturday Night atau disingkat jadi MOS. Sebagai ketua pelaksananya, Candra ngaku ngerubah nama event ini dengan sengaja buat sekalian nunjukin semangat SASMI yang gak ada matinya.

Sabtu sore (21/03), MOS membuktikannya dengan membawa tema acara “Dikutuk Jadi Bintang”. Tenang, jangan pake ngeri dulu ngedenger tema acara ini. Candra, si cowok berpenampilan cool ini, ngejelasin kalau tema itu dibikin buat mengekspresikan band yang namanya udah melangit setinggi bintang. Aksi band-band yang mengisi acara tampil semirip mungkin dengan penampilan band-band idolanya di atas panggung. Gak hanya soal performance, lagu-lagu yang dinyanyikan dipilih khusus dari band idolanya. Satu band, tampil untuk satu bintang yang diidolakannya.

Meskipun sebenarnya acara sudah mulai dibuka sejak sore hari, tapi acara mulai ramai pada saat malam tiba. Sebagai penghangat suasana malam itu diawali aksi nge-jam dengan lagu berjudul I’m fallin in love sebagai tribute kepada band papan atas, J-Rock. Gak ketinggalan aksi-aksi dari para penari modern dance dan juga Sasmi Voice’s. Semuanya itu full kreativitas anggota baru Sasmi. Konon sih, memang katanya acara MOS kali itu sekaligus buat ajang pencarian bakat dari anggota-anggota baru yang bakal meneruskan keberlangsungan eksistensi Sasmi, gitu maksudnya. Tapi gak banget, kalo acara ini dimaksudkan buat bikin gap antara senior dan junior. Gak sama sekali. Soalnya ada juga, angkatan-angkatan senior yang manggung bareng para juniornya.

Malam belum berhenti, acara MOS malah makin panas dengan hadirnya dua band undangan dari Gasebo UMP dan Bezper Fakultas Pertanian UNSOED. Masing-masing tampil dengan gayanya yang cadas abis. Para penonton seketika itu juga terhipnotis oleh lagu-lagu yang dibawakan dari masing-masing band. Seluruh emosi penonton tertumpah ruah di depan panggung. Tangan, kaki, badan bergerak berirama selaras dengan lagunya.

Acara terus berlangsung dipandu oleh presenter cantik, Dini, dan presenter kocak, Jaduk, hingga penghujung acara. Di akhir acara, giliran senior-senior Sasmi yang menunjukkan talenta musiknya. Sebuah lagu berjudul Possesive dibawakan oleh band yang menamakan dirinya INAF mengakhiri acara MOS kali itu. Meskipun acara itu sudah ditutup, namun beberapa lagu masih saja terus dinyanyikan. Terkesan, akhir acara bukanlah akhir dari semangat dan kreativitas Sasmi.[]Master

Proses pembelajaran yang dilaksanakan program Kelas Internasional (KI) agaknya sedikit terhambat karena ketidakjelasan kurikulum yang dipakai. English Discussion Community (EDC) dan Preparation For Presentation (PFP) - dua program terbaru KI cukup mendapat respon dari mahasiswa karena tidak disosialisasikan sebelumnya. Berawal ketika Rabu,18 Maret 2009 pukul 09.45 mahasiswa akuntansi internasional berniat mengadakan diskusi dengan Tim Pengelola KI perihal kedua program tersebut, namun pada waktu yang bersamaan di gedung Roedhiro tengah diadakan Communication With Native dengan Mohammad Poul sebagai pembicaranya yang notabene wajib bagi setiap mahasiswa KI. Misscommunication antara mahasiswa dan Tim Pengelola KI turut menjadi penyebab tidak terselenggaranya acara diskusi yang ditunggu-tunggu oleh banyak mahasiswa. Keingintahuan mahasiswa KI tidak dapat terjawab pada hari itu
Pantas jika antusisme mahasiswa KI terhadap diskusi ini cukup besar. Bagaimana tidak, kebijakan program tersebut diwajibkan bagi setiap mahasiswa KI dan berpangkal pada syarat pendadaran. Adanya keharusan ini dipandang oleh salah satu Tim Pengelola KI, Poppy Dian Indira, SE, M.Si,Ak sebagai komitmen tim pengelola KI untuk meningkatkan kualitas KI, khususnya dalam penguasaan bahasa Inggris. ”Bisa dibayangkan jika program tersebut tidak diwajibkan. Kita lihat sekarang, bagaimana kualitas mahasiswa KI, terlebih angkatan 2006 yang sebentar lagi akan menempuh tugas akhir. Mereka akan sangat kerepotan jika harus menyusun skripsi dan seminar menggunakan bahasa Inggris. Untuk itulah, kami (tim pengelola KI-red) merancang program ini untuk membantu mahasiswa.” Hal senada juga diungkapkan oleh koordinator Tim Pengelola KI, Wiwiek R. Adawiyah, M.Sc,” Setelah kami melakukan survey ke universitas lain, ternyata program KI Unsoed masih sangat jauh dari standar internasional. Kami merasa terpanggil untuk terus memperbaiki kurikulum KI ini. Dan program EDC serta PFP ini salah satu usaha kami.”
Amat disayangkan jika itikad baik dari Tim Pengelola ini hanya dipandang sebelah mata oleh mahasiswa KI. Sebagian mahasiswa merasa kecewa karena belum mendapat keterangan yang pasti mengenai program tersebut. Sebagai syarat pendadaran, mahasiswa KI angkatan 2006 hanya diwajibkan mengambil PFP. Untuk mahasiswa angkatan 2007, diwajibkan mengambil EDC dan PFP. Sedangkan bagi mahasiswa angkatan 2008, syarat pendadaran dipertimbangkan dari EDC, PFP dan akumulasi 10% untuk nilai bahasa Inggris. Perbedaan kebijakan ini mengisyaratkan ketidaksiapan Unsoed dalam menyelenggarakan KI, sebagaimana pernyataan Bu Poppy,” Untuk masalah kurikulum, kami akan berusaha untuk memperbaikinya. Permasalahan di KI ini juga kompleks. Semua nggak bisa diselesaikan dalam satu hari, harus step by step. Semua itu butuh proses.”
Economic Debating Club FE dipercaya oleh pihak fakultas untuk meng-handle EDC. Ketika ditanya mengenai antusiasme mahasiswa yang mendaftar, Kiki Sri Rejeki, sebagai salah satu anggota tim EDC mengaku tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. “Kami hanya diminta bantuannya oleh jurusan untuk meng-handle. Kalau masalah berapa banyak mahasiswa yang mendaftar, kami kurang tahu karena mahasiswa langsung mendaftar ke jurusan,”ungkapnya. Tim EDC juga merasa sedikit kesulitan karena materi yang diajarkan oleh masing-masing pengajar tidak ada standar yang jelas.
Di lain pihak, Yos Riski, mahasiswa KI SKS 2007 merasa kecewa atas dikenakannya biaya untuk mengikuti program tersebut. Untuk EDC, dikenai biaya Rp 10.000,- per mahasiswa untuk jangka waktu satu tahun. Sedangkan untuk mengikuti PFP, mahasiswa harus mengeluarkan Rp 75.000,- untuk 10 kali pertemuan. “ Sebenarnya kami agak kecewa karena harus mengeluarkan uang lagi. Masa untuk menyelenggarakan program tersebut pihak fakultas tidak mampu untuk membiayainya. Bukan masalah besaran nominalnya, tapi selama ini kami belum mendapatkan transparansi penggunaan uang yang sudah kami bayarkan. Kami sudah menuntut pihak fakultas untuk memberikan transparansi dana tersebut sejak setahun yang lalu. Tapi hingga kini kami belum mendapatkannya”, tuturnya. Yos juga menuntut transparansi dan sosialisasi kepada Tim Pengelola KI mengenai kebijakan yang keluar. ” Kami selalu terbuka jika ada mahasiswa yang akan bertanya mengenai masalah KI. Bahkan sampai hal yang paling krusial pun,” ungkap Irma Suryahani, SE, M.Si yang juga anggota Tim Pengelola KI. ”Tapi, ada hal-hal yang tidak bisa kami jawab jika itu bukan koridor dan wewenang kami untuk menjawabnya,”imbuhnya.
Dua tahun lebih FE menyelenggarakan program KI..”KI ini baru dalam tahap start up, jadi wajar jika terdapat kekurangan di sana-sini,” kata Bu Wiwiek

Satu demi satu permasalahan KI yang kini dirasakan hanya sedikit dari sekian banyak masalah yang tak terliput oleh mata. Tak ada kejelasan mengenai penyelesaian dari masalah yang ada. Setiap kali ada masalah baru yang muncul, masalah yang lalu terkubur dan terpinggirkan.[]Asri

Selasa, 10 Maret 2009, ketika menyampaikan sambutannya pada acara pelantikan pengurus HMPS, Dekan Fakultas Ekonomi Drs. Haryadi M.Sc menyinggung tentang akan adanya pembatasan penerimaan mahasiswa baru di FE pada tahun 2009. Saat dikofirmasi di ruangannya, beliau menyatakan bahwa pembatasan penerimaan mahasiswa baru angkatan 2009 adalah tuntutan dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) yakni tentang peraturan rasio dosen dengan mahasiswa yang ideal sebesar 1:30. Beliau pun diminta oleh Dikti untuk menutup kelas Non Reguler. Dengan demikian, jumlah mahasiswa baru angkatan 2009 akan jauh berkurang dari sebelumnya.
Ditemui dalam ruangan secara terpisah, Rasyid Mei Mustofa selaku Pembantu Dekan I memaparkan jumlah kuota mahasiswa per jurusan adalah 70 mahasiswa per kelas, di mana akan dibuka dua kelas perjurusan S1 reguler, dan satu kelas di setiap jurusan untuk S1 Kelas Internasional. Untuk program D3 sendiri akan menampung 70 mahasiswa baru dengan hanya dibuka satu kelas per prodinya.
Untuk mengatasi mahasiswa D3 yang akan alih jenjang ke S1 terkait ditutupnya kelas non reguler, Bpk. Haryadi menyatakan bahwa akan dibuka kelas pararel. Kelas yang dibuka khusus untuk mahasiswa D3 yang akan meneruskan ke S1 ini akan menampung 50 mahasiswa alih jenjang. Dengan begitu, beliau mengharapkan dapat mencapai peraturan yang ditetapkan Dikti. Beliau pun menambahkan, hal itu untuk menunjang tercapainya rasio 1:30. Selain membatasi mahasiswa baru, akan ada percepatan dan DO. Setidaknya sudah tercatat sekitar delapan ratus mahasiswa yang telah dinyatakan Drop Out.
Semoga tidak sama dengan hal prinsip harga barang langka, dimana harga akan naik apabila barang tersebut semakin langka. Apabila prinsip ini digunakan pada dunia pendidikan tidak dipugkiri bahwa akan makin banyak masyarakat yang tidak dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hal tersebut seyogyanya dapat diperhatikan secara seksama.[] Affan